Memuat...
07 November 2025 11:37

Emotion-Focused Therapy (EFT): Saat Emosi Menjadi Kunci Pemulihan

Bagikan artikel

Saat Emosi Tak Lagi Bisa Disembunyikan

Setiap dari kita punya cara berbeda untuk menghadapi perasaan. Ada yang menahannya, berharap ia hilang seiring waktu. Ada yang menutupi dengan kesibukan, agar tidak sempat merasakannya. Ada pula yang membiarkannya meledak, lalu menyesal setelahnya. Namun apa jadinya kalau justru emosi itu sendiri adalah jalan menuju pemulihan?

Bagi sebagian orang, terutama mereka yang mengalami trauma, depresi, atau masalah relasi, emosi sering terasa seperti musuh, sesuatu yang harus dihindari. Padahal, menurut Emotion-Focused Therapy (EFT), emosi bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan pesan dari diri terdalam yang menunggu untuk dipahami.

 

Apa Itu Emotion-Focused Therapy (EFT)?

EFT dikembangkan oleh Leslie Greenberg dan rekan-rekannya pada tahun 1980-an. Berbeda dari terapi yang berfokus pada pikiran atau perilaku, EFT berangkat dari keyakinan bahwa perubahan sejati terjadi ketika seseorang mampu mengalami dan memahami emosinya secara penuh.

Greenberg (2011) menyebut bahwa emosi adalah “sumber informasi penting yang memberi tahu kita apa yang kita butuhkan, apa yang kita takuti, dan apa yang harus disembuhkan.” Dengan kata lain, EFT membantu seseorang belajar mendengarkan emosinya alih-alih melarikan diri darinya.

Terapi ini sering digunakan untuk membantu individu dengan depresi, trauma emosional, konflik dalam hubungan, atau kesulitan mengungkapkan perasaan. Tujuannya bukan untuk menghapus emosi negatif, tetapi mengubah hubungan kita dengan emosi itu, dari menolak menjadi menerima, dari takut menjadi memahami.

 

Ketika Emosi Dijadikan Kompas, Bukan Ancaman

Kebanyakan orang dibesarkan untuk menekan emosi. Kita diajarkan bahwa menangis itu tanda lemah, marah itu tidak sopan, dan kecewa itu tidak pantas. Akibatnya, banyak orang kehilangan kemampuan alami untuk mengenali dan menamai perasaannya. EFT membantu seseorang kembali terhubung dengan pengalaman emosionalnya secara aman dan sadar. Melalui panduan terapis, klien diajak:

  1. Menyadari apa yang sebenarnya dirasakan, bukan hanya “marah” atau “sedih,” tapi apa yang ada di baliknya (misalnya rasa takut ditolak atau kehilangan kendali).

  2. Mengizinkan diri untuk merasakan, bukan menekan, tapi juga bukan larut.

  3. Menemukan makna di balik emosi itu, mengapa ia muncul, pesan apa yang dibawanya.

  4. Menciptakan respons emosional baru, misalnya, mengganti rasa malu dengan penerimaan diri, atau rasa marah dengan keberanian menetapkan batas.

Dengan langkah-langkah ini, EFT membantu individu “memproses ulang” pengalaman emosional yang semula menyakitkan menjadi pengalaman yang lebih sehat dan bermakna.

 

EFT dalam Praktik: Ruang Aman untuk Merasa

Dalam sesi terapi EFT, terapis tidak berfokus memberi nasihat atau menilai benar–salah perasaan klien. Sebaliknya, mereka menciptakan ruang aman untuk merasa, ruang di mana seseorang bisa menangis, marah, takut, atau bingung tanpa harus malu.

Prosesnya bisa tampak sederhana, tapi sesungguhnya sangat mendalam. Misalnya, klien yang mengatakan “Aku marah sama dia” mungkin sebenarnya menyimpan kesedihan karena merasa tidak dihargai. Dengan bimbingan terapis, klien belajar menggali emosi primer di balik emosi sekunder. Marah bukan lagi hanya kemarahan, melainkan pintu menuju rasa sakit yang belum tersentuh. Ketika emosi itu akhirnya diakui, terjadi pelepasan, kelegaan yang lahir dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri.

Greenberg menggambarkan proses ini seperti mencairnya es di hati: “Ketika emosi yang beku mulai mengalir, kehidupan pun kembali mengalir bersamanya.”

 

Mengapa Emosi Perlu Diolah, Bukan Dihindari

EFT berangkat dari asumsi bahwa emosi yang tidak diproses akan mencari cara untuk keluar. Ia bisa muncul dalam bentuk stres berkepanjangan, rasa lelah emosional, ledakan amarah, atau bahkan gejala fisik seperti nyeri dan gangguan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa EFT efektif dalam mengurangi gejala depresi dan trauma karena membantu individu menghadapi akar emosional masalahnya, bukan hanya gejala di permukaan. Studi oleh Greenberg & Watson (2006) menunjukkan bahwa EFT menghasilkan peningkatan signifikan dalam regulasi emosi, rasa harga diri, dan hubungan interpersonal. Ketika seseorang belajar menghadapi emosinya dengan aman, tubuh pun merespons dengan rasa tenang. Sistem saraf yang sebelumnya selalu “waspada” akhirnya bisa beristirahat.

 

EFT dan Hubungan Interpersonal

Selain untuk individu, EFT juga banyak digunakan dalam terapi pasangan. Versi ini dikembangkan oleh Sue Johnson dan dikenal sebagai Emotionally Focused Couple Therapy (EFCT). Pendekatan ini membantu pasangan memahami bahwa di balik pertengkaran sering tersembunyi kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, seperti kebutuhan untuk merasa dicintai, aman, dan dihargai. Alih-alih memperdebatkan “siapa yang salah,” EFT membantu pasangan berbicara dari sisi yang lebih lembut: “Aku merasa tidak berarti ketika kamu menjauh,” bukan “Kamu nggak pernah peduli.” Dengan begitu, hubungan tak lagi menjadi arena pertahanan, melainkan tempat untuk saling melihat dan memahami.

 

Belajar Menjadi Ramah pada Emosi

Tidak ada yang salah dengan memiliki emosi, yang penting adalah bagaimana kita memperlakukannya. EFT mengajarkan bahwa menangis bukan kelemahan, marah bukan dosa, dan takut bukan tanda kegagalan. Semua itu hanyalah sinyal bahwa ada sesuatu dalam diri yang perlu diperhatikan.

Mempraktikkan prinsip EFT dalam kehidupan sehari-hari bisa dimulai dengan hal-hal kecil:

  1. Saat merasa tidak nyaman, berhenti sejenak dan tanyakan: “Emosi apa yang sedang aku rasakan?”

  2. Alih-alih langsung menghakimi, katakan: “Aku boleh merasa begini.”

  3. Berikan ruang untuk merasakannya sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.

Dengan cara ini, kita tidak lagi dikuasai oleh emosi, melainkan belajar hidup berdampingan dengannya.

 

Menemukan Ketenangan Lewat Keberanian Merasa

Pemulihan sering kali tidak datang dari melupakan masa lalu, melainkan dari berani menatapnya dengan penuh kasih. Emotion-Focused Therapy membantu kita melakukan hal itu: menyalakan lampu di ruang yang dulu gelap, agar kita bisa melihat, memahami, dan akhirnya berdamai dengan diri sendiri.

Emosi mungkin tidak selalu nyaman, tapi mereka adalah bagian dari kemanusiaan kita. Lalu, ketika kita memberi izin untuk benar-benar merasakannya, itulah awal dari kesembuhan yang sesungguhnya.

Untuk dapat mengenali potensimu dengan baik, kalian dapat menemukan layanan asesmen psikologi terbaik hanya di biro psikologi resmi Assessment Indonesia, mitra terpercaya untuk kebutuhan psikotes.

 

Referensi

Greenberg, L. S. (2011). Emotion-Focused Therapy: Theories of Practice. American Psychological Association.

Greenberg, L. S., & Watson, J. C. (2006). Emotion-focused therapy for depression. Washington, DC: APA Press.

Pascual-Leone, A., & Greenberg, L. S. (2007). Emotional processing in experiential therapy: Why “the only way out is through.” Journal of Consulting and Clinical Psychology, 75(6), 875–887.

Johnson, S. (2008). Hold Me Tight: Seven Conversations for a Lifetime of Love. New York: Little, Brown and Company.

Bagikan