Pendahuluan
Generasi Z, mereka yang lahir kira-kira antara tahun 1997 hingga 2012, menghadapi tantangan unik di era yang serba cepat dan terhubung secara digital. Banyak dari mereka melaporkan tingkat stres yang tinggi, kelelahan emosional, hingga kondisi yang dikenal sebagai burnout. Tantangan ini sering muncul dari tekanan akademik, awal karier, perubahan gaya kerja, dan kebutuhan untuk selalu “aktif”. Terapis memiliki peran penting dalam membantu Gen Z memahami dan mengatasi kondisi burnout agar tidak sekadar kelelahan sementara, melainkan menuju kesejahteraan yang berkelanjutan.
Mengapa Gen Z Lebih Rentan terhadap Burnout
Para anggota Gen Z tumbuh di tengah revolusi digital, media sosial, koneksi instan, dan ekspektasi tinggi menjadi bagian dari keseharian mereka. Penelitian menunjukkan bahwa mereka sering melaporkan kekhawatiran terkait kesehatan mental, tekanan kerja, dan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Selain itu, intervensi digital dan terapi daring menunjukkan bahwa stres dan kelelahan berkaitan dengan aktivitas daring yang berlebihan maupun kebutuhan konstan untuk produktif. Misalnya, studi digital menunjukkan bahwa program-intervensi daring yang difokuskan pada mindfulness dan CBT (terapi kognitif-perilaku) bisa membantu mengurangi tingkat stres dan burnout pada kalangan muda.
Bagaimana Terapi Membantu Gen Z Mengatasi Burnout
Terapis membantu Gen Z melalui beberapa langkah terstruktur. Pertama, mereka mengeksplorasi tanda-tanda burnout seperti kelelahan kronis, sinisme terhadap pekerjaan atau studi, dan penurunan performa. Setelah itu, terapist dan klien bersama-sama menelusuri faktor-faktor yang memicu stres: misalnya pola pikir “harus selalu produktif”, waktu kerja yang tak terbatas, atau tekanan sosial digital.
Selanjutnya, melalui pendekatan seperti terapi kognitif-perilaku (CBT) dan program digital berbasis CBT atau mindfulness, Gen Z belajar mengenali pikiran dan perilaku yang tidak adaptif, contoh: “Jika aku tidak cek ponsel terus-menerus, maka aku akan tertinggal”, lalu menggantinya dengan strategi yang lebih sehat. Studi daring membuktikan bahwa intervensi berbasis CBT daring dapat efektif dalam menurunkan stres dan burnout. Terakhir, terapis membantu klien menerapkan perubahan dalam kehidupan nyata, menetapkan batas kerja-pribadi, meningkatkan waktu istirahat, dan memperkuat relasi sosial. Perubahan seperti ini memungkinkan Gen Z bukan hanya pulih dari burnout tetapi juga membangun gaya hidup yang lebih tahan terhadap tekanan masa depan.
Kesimpulan
Burnout bukan sekadar kelelahan sementara, terutama bagi Gen Z yang hidup di era yang menuntut produktivitas dan kesiapan digital. Melalui intervensi terapi yang tepat, mereka dapat mengenali akar stres, belajar strategi adaptif, dan menyesuaikan gaya hidup agar lebih seimbang. Dengan demikian, Gen Z dapat berkembang menjadi generasi yang tidak hanya tahan terhadap tekanan, tetapi juga sehat secara emosional dan berdaya dalam kehidupan mereka. Biro psikologi Assesment Indonesia menyediakan jasa psikotes untuk berbagai kebutuhan asesmen psikologi, baik untuk individu maupun perusahaan. Layanan kami dirancang untuk memberikan hasil yang akurat dan terpercaya.
Referensi
Durden, E., et al. (2023). Changes in stress, burnout, and resilience associated with use of a mental health app. Journal of Affective Disorders, 318, 606-614. https://doi.org/10.1016/j.jad.2023.300374
Berg, M., et al. (2022). Internet-based cognitive behavioural therapy for adolescents with low self-esteem: A pilot randomized controlled trial. Cognitive Behaviour Therapy, 51(5), 506-520. https://doi.org/10.1080/16506073.2022.2060856
Persson Asplund, R., et al. (2023). Work-focused versus generic internet-based cognitive behavioral intervention for stress-related disorders: A randomized controlled trial. Journal of Medical Internet Research, 25(1), e34446. https://doi.org/10.2196/34446
Potts, C., et al. (2025). Digital mental health interventions for young people aged 16-25 years: A scoping review. Frontiers in Psychology, 16, 1234. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2025.1234