Memuat...
11 November 2025 09:55

Regulasi diri dalam Konteks Pendidikan

Bagikan artikel

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak individu memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu yang diidamkan, namun tanpa disadari perilakunya justru tidak mendukung pencapaian tujuan tersebut. Seiring waktu, resolusi yang disusun di awal tahun sering terlupakan karena perhatian teralihkan oleh berbagai tantangan dan tuntutan hidup. Tidak sedikit pula individu yang akhirnya memilih untuk menjalani hidup “mengalir begitu saja” tanpa arah dan tujuan yang jelas.

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana cara mengarahkan perilaku agar seseorang mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan? Apa yang perlu diperhatikan agar individu tidak mudah tergoda oleh kepuasan sesaat dan tetap fokus pada tujuan jangka panjang?

Jawabannya terletak pada konsep regulasi diri (self-regulation), yaitu kemampuan individu untuk mengenali, memelihara, serta mengendalikan pikiran, emosi, dan perilaku agar tetap sejalan dengan tujuan yang diinginkan.

 

Pengertian Regulasi Diri

Albert Bandura melalui Social Cognitive Theory (dalam Tougas dkk., 2015) menjadi salah satu tokoh utama yang meletakkan dasar bagi konsep regulasi diri. Menurut Carver dan Scheier (dalam Tougas dkk., 2015), regulasi diri adalah proses mengenali, memelihara, dan mengontrol pikiran, perilaku, serta emosi dengan tujuan mencapai hasil yang diharapkan dan menghindari hasil yang tidak diinginkan.

Hoffmann dkk. (dalam Crandall dkk., 2017) menekankan bahwa regulasi diri merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku menuju pencapaian tujuan. Sementara itu, Novak dan Clayton (dalam Crandall dkk., 2017) menambahkan bahwa regulasi diri mencakup cara individu mengendalikan emosi, pikiran, dan perilaku ketika menghadapi tekanan lingkungan.

Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, regulasi diri dapat dipahami sebagai kemampuan untuk terus-menerus mengarahkan pikiran, perasaan, dan perilaku ketika menghadapi tekanan lingkungan, sehingga individu dapat mencapai tujuan pribadi yang telah ditetapkan.

Tujuan pribadi, baik jangka pendek maupun panjang, berfungsi sebagai pemandu dalam mengarahkan pikiran, emosi, dan perilaku sehari-hari. Karena individu setiap hari berhadapan dengan tantangan dan tekanan lingkungan, mempertahankan fokus terhadap tujuan menjadi langkah penting.

Pengelolaan emosi juga menjadi bagian dari regulasi diri. Baik emosi positif seperti semangat dan kegembiraan, maupun emosi negatif seperti kesedihan atau kekhawatiran, perlu dikenali dan diatur agar tidak menjauhkan individu dari tujuannya. Dalam konteks perilaku, individu dengan regulasi diri yang baik cenderung mampu menyesuaikan tindakan agar selaras dengan tujuan hidupnya. Ia akan menetapkan prioritas dan mengesampingkan perilaku yang tidak mendukung pencapaian tujuan tersebut.

 

Regulasi Diri dalam Konteks Pendidikan

Konsep regulasi diri kemudian dikembangkan oleh Barry Zimmerman dan diterapkan dalam konteks pendidikan. Zimmerman (dalam Ekawanti & Mulyana, 2016) menyebutnya sebagai self-regulated learning atau regulasi diri dalam belajar, yang didefinisikan sebagai proses proaktif yang dilakukan siswa untuk mengembangkan keterampilan akademik, mulai dari menetapkan tujuan, memilih strategi, hingga melakukan pengendalian diri secara efektif (Zimmerman, dalam Husna dkk., 2018).

Zimmerman mengidentifikasi tiga aspek utama regulasi diri dalam belajar, yaitu:

  1. Aspek Metakognitif, mencakup pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses berpikir. Siswa yang memiliki regulasi diri yang baik mampu merencanakan, mengorganisasikan, memberikan instruksi pada diri sendiri, memonitor, serta mengevaluasi proses belajarnya.

  2. Aspek Motivasi, mencakup strategi dalam mengelola stres dan emosi untuk menghindari kegagalan serta mencapai keberhasilan akademik.

  3. Aspek Perilaku, mencakup kemampuan menata lingkungan belajar, mengelola catatan, serta melakukan pengawasan dan peninjauan terhadap materi belajar.

 

Zimmerman (2002) juga menjelaskan bahwa proses regulasi diri dalam belajar terdiri atas tiga tahap, yaitu:

  • Perencanaan (Planning) — siswa menetapkan tujuan, menyusun strategi, dan menjadwalkan pelaksanaan tugas.

  • Pemantauan (Monitoring) — siswa bertindak sesuai rencana sambil memantau performa dan pengalaman belajar.

  • Refleksi (Reflection) — setelah tugas selesai, siswa menilai hasil serta efektivitas strategi yang telah digunakan.

 

Manfaat Regulasi Diri

Regulasi diri memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Bandura (dalam Crandall dkk., 2017) menegaskan bahwa tanpa kemampuan regulasi diri, perilaku seseorang akan mudah dikendalikan oleh faktor eksternal. Baumeister dan Vohs (2004) dalam Handbook of Self-Regulation: Research, Theory, and Applications juga menyebutkan bahwa kegagalan regulasi diri dapat berujung pada munculnya berbagai gangguan seperti depresi, ADHD, perilaku adiktif, hingga perilaku berisiko.

Galinsky (dalam Bancin dkk., 2017) menambahkan bahwa regulasi diri membantu individu mengatur pikiran, emosi, dan perilaku agar mampu mencapai kesuksesan dalam bidang akademik, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi.

Berbagai penelitian menunjukkan kontribusi regulasi diri terhadap keberhasilan akademis. Misalnya, regulasi diri berperan dalam peningkatan prestasi belajar matematika (Kusaeri & Mulhamah, 2016), kalkulus (Hidayat, 2013), serta menurunkan kecenderungan prokrastinasi akademik (Fitriya & Lukmawati, 2016). Zimmerman dan Schunk (dalam Neiadihassan & Arabmofrad, 2016) menemukan bahwa siswa dengan regulasi diri tinggi mampu menetapkan tujuan belajar, menerapkan strategi belajar efektif, memonitor kemajuan, serta menyesuaikan strategi sesuai kebutuhan.

Sebaliknya, regulasi diri yang rendah berkaitan dengan hasil belajar yang buruk, perilaku agresif, dan kontrol diri yang lemah (Zimmerman dalam Rosliani & Ariati, 2016).

Selain di bidang akademis, regulasi diri juga berperan penting dalam dunia kerja dan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan regulasi diri tinggi memiliki semangat kerja lebih baik (Mamuaja dkk., 2017), tingkat stres dan kelelahan (burnout) yang lebih rendah (Ekawanti & Mulyana, 2016), serta kecenderungan menunda pekerjaan yang lebih kecil (Zimmerman dalam Rosliani & Ariati, 2016).

Dalam bidang kesehatan, regulasi diri terbukti membantu pasien dengan penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, jantung, dan arthritis untuk menjaga perilaku sehat serta meningkatkan kesejahteraan psikologis (Uhl, Kazen, & Koole, 2006). Sebaliknya, regulasi diri yang rendah berkorelasi dengan peningkatan stres (Lupien dkk., 2009) dan perilaku berisiko, termasuk perilaku seksual maupun berkendara yang berbahaya (Griffin dkk., 2012; Nirmala & Patria, 2016).

Dalam bidang olahraga, regulasi diri juga menjadi kunci keberhasilan atlet. Beckmann (2001) menjelaskan bahwa pelatihan regulasi diri bagi atlet mencakup kontrol perhatian, self-talk, penetapan tujuan, pengendalian pikiran, dan visualisasi.

 

Mekanisme Regulasi Diri dalam Perubahan Perilaku

Regulasi diri merupakan salah satu konsep penting dalam teori perubahan perilaku yang berakar pada teori kognitif sosial Bandura. Menurut Tougas dkk. (2015), regulasi diri mencakup tiga komponen utama, yaitu pemantauan diri (self-monitoring), penilaian diri (self-judgement), dan evaluasi diri (self-evaluation).

Crandall dkk. (2017) mengelompokkan mekanisme pelaksanaannya sebagai berikut:

  • Pemantauan diri dilakukan melalui pemberian umpan balik, konsistensi, kedekatan waktu, dan fokus pada keberhasilan.

  • Penilaian diri dilakukan melalui pembandingan diri, motivasi, nilai perilaku, serta kontrol diri.

  • Evaluasi diri dilakukan melalui kepuasan pribadi, insentif internal, dan penghargaan eksternal.

Melalui ketiga mekanisme tersebut, regulasi diri berfungsi sebagai sistem internal yang membantu individu secara sadar mengarahkan dan menyesuaikan perilaku dalam upaya mencapai perubahan yang diinginkan.

 

Aplikasi dalam Pengukuran dan Intervensi

Crandall dkk. (2017) menjelaskan bahwa pengukuran regulasi diri dapat dilakukan menggunakan skala yang diisi oleh individu, guru, atau orang tua. Intervensi regulasi diri telah banyak diterapkan pada berbagai kelompok usia, mulai anak-anak hingga dewasa, dan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Bentuk intervensinya bisa berupa tatap muka, melalui telepon, atau kombinasi keduanya (Tougas dkk., 2015).

Assessment Indonesia adalah biro psikologi resmi yang menjadi pusat asesmen psikologi terpercaya, serta vendor psikotes terbaik di Indonesia.

 

Referensi:
Asyanti, S. (2019). Cognitive behavior therapy: Teori & aplikasi. Muhammadiyah University Press.

Bagikan